Diberdayakan oleh Blogger.
  • Amy lagi maen boneka
  • Lagi senang belajar tertawa
  • Pada waktu liburan ke Jogja
  • Sembahyang di Pura Kelapa Dua Depok
  • Liburan Ke Jogja
  • Liburan Ke Jogja
  • Liburan Ke Jogja
  • Liburan Ke Jogja

Selasa, 15 Maret 2011

Tri Hita Karana

Tri Hita Karana dalam Agama Hindu

  1. Latar belakang historis.
    Istilah Tri Hita Karana pertama kali muncul pada tanggal 11 Nopember 1966, pada waktu diselenggarakan Konferensi Daerah l Badan Perjuangan Umat Hindu Bali bertempat di Perguruan Dwijendra Denpasar. Konferensi tersebut diadakan berlandaskan kesadaran umat Hindu akan dharmanya untuk berperan serta dalam pembangunan bangsa menuju masyarakat sejahtera, adil dan makmur berdasarkan Pancasila. Kemudian istilah Tri Hita Karana ini berkembang, meluas, dan memasyarakat.

  2. Pengertian.
    Secara leksikal Tri Hita Karana berarti tiga penyebab kesejahteraan. (Tri = tiga, Hita = sejahtera, Karana = penyebab). Pada hakikatnya Tri Hita Karana mengandung pengertian tiga penyebab kesejahteraan itu bersumber pada keharmonisan hubungan antara:
    1. Manusia dengan Tuhannya.
    2. Manusia dengan alam lingkungannya.
    3. Manusia dengan sesamanya.

  3. Unsur- unsur Tri Hita Karana.
    1. Unsur- unsur Tri Hita Karana ini meliputi:
      1. Sanghyang Jagatkarana.
      2. Bhuana.
      3. Manusia
    2. Unsur- unsur Tri Hita Karana itu terdapat dalam kitab suci Bagawad Gita (III.10), berbunyi sebagai berikut:

      Bagawad Gita (III.10)
      Artinya :
      Sahayajnah prajah sristwa pura waca prajapatih anena prasawisya dhiwan esa wo'stiwistah kamadhuk Pada jaman dahulu Prajapati menciptakan manusia dengan yadnya dan bersabda: dengan ini engkau akan berkembang dan akan menjadi kamadhuk dari keinginanmu.

      Dalam sloka Bhagavad-Gita tersebut ada nampak tiga unsur yang saling beryadnya untuk mendapatkan yaitu terdiri dari:
      Prajapati = Tuhan Yang Maha Esa
      Praja = Manusia

  4. Penerapan Tri Hita Karana.
    1. Penerapan Tri Hita Karana dalam kehidupan umat Hindu sebagai berikut
      1. Hubungan antara manusia dengan Tuhannya yang diwujudkan dengan Dewa yadnya.
      2. Hubungan manusia dengan alam lingkungannya yang diwujudkan dengan Bhuta yadnya.
      3. Hubungan antara manusia dengan sesamanya diwujudkan dengan Pitra, Resi, Manusia Yadnya.

    2. Penerapan Tri Hita Karana dalam kehidupan umat Hindu di Bali dapat dijumpai dalam perwujudan:

      1 Parhyangan
      Parahyangan untuk di tingkat daerah berupa Kahyangan Jagat
      Di tingkat desa adat berupa Kahyangan desa atau Kahyangan Tiga
      Di tingkat keluarga berupa pemerajan
      atau sanggah
      2 Pelemahan
      Pelemahan di tingkat daerah meliputi wilayah Propinsi Bali
      Di tingkat desa adat meliputi "asengken" bale agung
      Di tingkat keluarga meliputi pekarangan perumahan
      3 Pawongan
      Pawongan untuk di tingkat daerah meliputi umat Hindu di Bali
      Untuk di desa adat meliputi krama desa adat
      Tingkat keluarga meliputi seluruh anggota keluarga


  5. Nilai Budaya.
    Dengan menerapkan Tri Hita Karana secara mantap, kreatif dan dinamis akan terwujudlah kehidupan harmonis yang meliputi pembangunan manusia seutuhnya yang astiti bakti terhadap Sanghyang Widhi Wasa/ Tuhan Yang Maha Esa, cinta kepada kelestarian lingkungan serta rukun dan damai dengan sesamanya


 Tri Hita Karana Bali

A.Pengertian
Tri Hita Karana ,berasal dari bahasa sansekerta. Dari kata Tri yang berarti tiga, Hita berarti sejahtera dan Karana berarti penyebab. Pengertian Tri Hita Karana adalah tiga hal pokok yang menyebabkan kesejahteraan dan kemakmuran hidup manusia.Konsep ini muncul berkaitan erat dengan keberadaan hidup bermasyarakat di Bali. Berawal dari pola hidup ini muncul dan berkaitan dengan terwujudnya suatu desa adat di Bali. Bukan saja berakibat terwujudnya persekutuan teritorial dan persekutuan hidup atas kepentingan bersama dalam bermasyaraakat,juga merupakan persekutuan dalam kesamaan kepercayaan untuk memuja Tuhan atau Sang Hyang Widhi.Dengan demikian suatu ciri khas desa adat di Bali minimal mempunyai tiga unsur pokok,yakni :wilayah,masyarakat dan tempat suci untuk memuja Tuhan/Sang Hyang Widhi.
Perpaduan tiga unsur itu secara harmonis sebagai landasan untuk terciptanya rasa hidup yang nyaman,tenteram,dan damai secara lahiriah maupun bathiniah. Seperti inilah gambaran kehidupan desa adat di Bali yang berpolakan Tri Hita Karana.

B. Bidang Garapan Tri Hita Karana
Adapun bidang garapan Tri Hita Karana dalam kehidupan bermasyarakat,adalah sebagai berikut:
1. Bhuana dan Karang Desa. Bhuana adalah alam semesta,Karang Desa adalah wilayah teritorial
dari suatu desa adat yang telah ditentukan secara definitif batas kewilayahannya dengan suatu
upacara adat keagamaan .
2.Kerama Desa Adat,yaitu kelompok manusia yang bermasyarakat dan bertempat tinggal di wilayah
desa adat yang dipimpin oleh seorang Bendesa Adat dan dibantu oleh prajuru (aparatur) desa adat
lainnya seperti kelompok-kelompok Mancagra, Mancakriya dan Pemangku ,bersama-sama
masyarakat desa membangun keamanan dan kesejahteraan masyarakat.
3.Tempat Suci adalah tempat untuk memuja Tuhan/Sang Hyang Widhi dan Sang Hyang Widhi
sebagai pujaan bersama yang diwujudkan dalam tindakan dan tingkah laku sehari-hari. Tempat
pemujaan ini diwujudnyatakan dalam bentuk Pura Kayangan Tiga. Setiap desa adat di Bali wajib
memilikinya.. Pura Kayangan Tiga itu adalah : Pura Desa,Pura Puseh,Pura Dalem.Pura
Kahyangan Tiga di desa adat di Bali seolah-olah merupakan jiwa dari Karang Desa yang tak
terpisahkan dengan seluruh aktifitas dan kehidupan desa.
C. Manfaat Tri Hita Karana dalam Kehidupan Sehari-hari dalam Rangka Melestarikan Lingkungan Hidup
Di dalam kehidupan masyarakat Hindu di Bali, kesehariannya menganut pola Tri Hita Karana.Tiga unsur ini melekat erat setiap hati sanubari orang Bali. Penerapannya tidak hanya pada pola kehidupan desa adat saja, namun tercermin dan berlaku dalam segala bentuk kehidupan bermasyarakat,maupun berorganisasi.Seperti salah satu organisasi pertanian yang bergerak di bidang pengairan yakni Sekehe Subak. Sistem Sekehe Subak di Bali mempunyai masing-masing wilayah subak yang batas-batasnya ditentukan secara pasti dalam awig-awig (peraturan ) subak.Awig-awig ini memuat aturan-aturan umum yang wajib diindahkan dan dilaksanakan.apabila dilangggar dari ketentuan itu akan dikenakan sanksi hukum yang berlaku dalam awig-awig persubakan. Tri Hita Karana Persubakan menyangkut adanya sawah sebagai areal,ada krama subak sebagai pemilik sawah,dan ada Pura Subak atau Ulun Suwi tempat pemujaan kepada Sang Hyang Widhi dalam manisfestasinya sebagai Ida Batari Sri,penguasa kemakmuran.
Desa Adat terdiri dari kumpulan kepala keluarga(KK).Mereka bertanggung jawab atas kelangsungan hidup keluargganya.Setiap keluarga menenpati Karang Ayahan Desa,yang disebut karang sikut satak.Disinilah setiap KK bebas mengatur keluarganya.Pola Kehidupan mereka tank lepas dari pola Tri Hita Karana,hal ini dapat dilihat dari Karang Sikut Satak yang ditempati. Secara umum penempatan bangunan di karang itu berpolakan : Utama Mandala,tempat bangunan suci untuk memuja Sang Hyang Widhi dan Para Leluhur,letaknya di Timur Laut pekarangan dinamakan Sanggah Kemulan.Madya Mandala tempat untuk membangun rumah,Balai Delod,Dapur,Kamar Mandi,Lumbung
dan bangunan lainnya. Nista Mandala tempat membangun Kori Agung,Candi Bentar, Angkul-angkul tempat masuk ke Pekarangan Sikut Satak.
Di luar Pekarangan Sikut Satak,namanya teba. Di teba inilah tempat krama Bali membangun ekonominya dengan bercocok taman seperti kelapa,pisang, nangka, durian dan tanaman lain yang memiki nilai ekonomis.Di tempat ini pula anggota keluarga membuat kandang sapi,babi,ayam itik,kambing dan peliharanaan lainnya,sebagai wujud pelestarian lingkungan. Setiap unit kehidupan masyarakat Hindu di Bali senantiasa berkiblat kepada ajaran Tri Hita Karana,dan telah tercermin dalam hidup harmonis di masyarakat dengan suku bangsa lainnya di Indonesia ,bahkan terhadap para wisatawan yang berkunjung
ke Bali.
Kini Tri Hita Karana ,bukan saja baik diterapkan di Bali ,juga ditempat lain terutama yang menginginkan suasana hidup aman,tenteram,sejahtera,sentaosa. Hidup berdampingan secara damai.